Secara umum batubara dapat dikenal dari kenampakan sifat fisiknya yaitu
berwarna coklat sampai hitam, berlapis, padat, mudah terbakar, kedap cahaya,
non kristalin, berkilap kusam sampai cemerlang, bersifat getas, pecahan kasar
sampai konkoidal. Unsur kimia utama pembentuk batubara adalah karbon (C),
hidrogen (H), nitrogen (N) dan sulfur (S). Proses pembentukan Batubara
Proses
pembentukan batubara diawali oleh adanya pertumbuhan tanaman pembentuk batubara
di lingkungan rawa-rawa. Tumbuhan tersebut kemudian mati dan terbenam di rawa.
Tumbuhan baru hidup dan mati. Pada akhirnya sisa-sisa tumbuhan yang mati
membentuk suatu lapisan, yang kemudian menghilang di bawah permukaan air. Dan
terawetkan melalui proses biokimia. Ketebalan lapisan tumbuhan tersebut
tergantung dari lamanya tumbuhan hidup. Lapisan tumbuhan yang telah mati dapat
ditemukan dalam ketebalan yang bervariasi mulai dari beberapa meter hingga
lebih dari 60 meter.
Jika
diakibatkan oleh adanya penurunan muka tanah (subsidence) yang disebabkan oleh
proses tektonik, hutan berakhir dibawah muka air, kehidupan tumbuhanpun
berakhir. Selanjutnya material klastik yang dibawa oleh sungai diendapkan
diatas sisa-sisa tumbuhan yang telah mati tersebut. Material klastik tersebut
dapat berupa lapisan batupasir, batulempung atau batulanau yang kemudian
menjadi tebal jika pengendapan terjadi dalam kurun waktu yang lama. Lapisan-lapisan
tersebut dikenal sebagai lapisan pembawa batubara yang ketebalannya bisa
mencapai ratusan meter. Jika penurunan tanah (subsidence) berkurang atau adanya
proses pengangkatan tanah, daratan dapat muncul kembali diatas muka air
sehingga tumbuhan dapat hidup kembali. Daurpun berulang kembali. Dengan cara
seperti ini akan terbentuk beberapa lapisan sisa-sisa tanaman dengan kehadiran
batupasir, batulanau atau batulempung berselingan mengendap diatasnya.
Dalam proses biokimia, adanya aktifitas bakteri mengubah bahan sisa-sisa
tumbuhan menjadi gambut (peat). Gambut yang telah terbentuk lambat laun
tertimbun oleh endapan-endapan lainnya seperti batulempung, batulanau dan
batupasir. Dengan perjalanan waktu yang mungkin berpuluh juta tahun, gambut ini
akan mengalami perubahan sifat fisik dan kimia akibat pengaruh tekanan (P) dan
temperatur (T), sehingga berubah menjadi batubara. Proses perubahan dari gambut
menjadi batubara dikenal dengan nama proses pembatubaraan (coalification).
Sebagai gambaran untuk batubara dengan tebal +2m, dibutuhkan lapisan sisa-sisa
tumbuhan dengan ketebalan + 60m. Pada tahap ini proses pembentukan batubara
lebih didominasi oleh proses fisika dan geokimia. Pada proses pembatubaraan,
gambut berubah menjadi batubara lignit, batubara bituminous sampai batubara
antrasit.
Kondisi
paleogeografi, tektonik, serta iklim berperan penting
dalam proses pembentukan batubara. Kondisi Paleogeografi dan Tektonik
harus membentuk suatu cekungan yang memudahkan proses penumpukan sisa-sisa
tumbuhan disamping melindungi rawa-rawa dari laut terbuka. Kondisi paleografi
dan tektonik juga harus mendukung agar rawa-rawa tempat penumpukan tumbuhan
yang mati, mengalami kenaikan muka air tanah secara perlahan dan lambat.
Kondisi ini akan sangat mendukung bagi perkembangan endapan gambut yang tebal,
yang pada akhirnya akan menentukan pembentukan lapisan-lapisan batubara.
Sedangkan iklim berpengaruh besar terhadap jenis tumbuhan sebagai sumber
pembentuk batubara. Iklim juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman serta
kecepatan dekomposisi.
Sekitar 90% batubara didunia termasuk Indonesia terbentuk pada lingkungan
paralism yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini
dapat dijumpai di dataran pantai, laguna, paparan dan fluviátil/sungai.
Pengendapan batubara di dataran pantai terjadi pada rawa-rawa dibelakang
pematang pasir pantai, yang kearah darat berasosiasi dengan sistem laguna.
Daerah ini tertutup hubungan dengan laut terbuka, pengaruh oksidasi air laut
tidak ada, sehingga menunjang pembentukan batubara.
Pengendapan batubara pada lingkungan sungai dapat terjadi pada
rawa-rawa dataran banjir (flood plain) dan belakang tanggul alam (natural
levee). Batubara yang terbentuk pada lingkungan seperti ini biasanya membentuk
lensa-lensa yang membaji ke segala arah mengikuti bentuk cekungan limpahnya.
Ditinjau dari proses terbentuknya, batubara dapat dibagi atas dua golongan yaitu:
- Batubara insitu atau
autochtonous, yaitu batubara yang terbentuk ditempat dimana tanaman itu
berasal. Pada umumnya batubara jenis ini memiliki lapisan yang cukup tebal
dengan kandungan abu rendah.
- Batubara tertransportasi
(transported) atau allochthonous, yaitu batubara yang terbentuk tidak pada
tempat dimana tanaman asal terdapat, sehingga harus melalui proses
transportasi ke tempat pengendapan. Batubara jenis ini biasanya memiliki
lapisan yang tipis dan mengandung mineral (abu) cukup tinggi dibandingkan
dengan batubara insitu.
Jenis Batubara
Berdasarkan
tahapan pembentukannya, batubara dapat dikelompokan kedalam 5 jenis, mulai dari
yang memiliki kalori terendah sampai tertinggi, yaitu :
- Gambut (peat)
- Lignit
- Batubara sub bituminous
- Batubara bitominous
- Batubara antrasit
Standar
Nasional Indonesia menetapkan jenis batubara berdasarkan nilai kalorinya, yaitu
:
Batubara Kalori Rendah : < 5100
(gambut dan lignite)
Batubara Kalori Sedang : 5100 - 6100 (batubara sub bituminous)
Batubara Kalori Tinggi : 6100 - 7100
(batubara bituminous
Batubara Kalori Sangat Tinggi : >
7100 (batubara bituminus dan antrasit)
Dalam penggunaannya di dunia industri, batubara dapat dibagi menjadi dua
kelompok yaitu batubara kokas (coking coal) dan batubara uap (steaming coal).
Batubara kokas dipergunakan untuk pembuatan kokas (metallurgical coke),
sedangkan batubara uap adalah bahan baku untuk menghasilkan uap yang
selanjutnya dipergunakan menggerakkan turbin untuk menghasilkan listrik.
Batubara
Indonesia
Di
Indonesia batubara terbentuk pada cekungan-cekungan sedimentasi berumur
Permo-Karbon sampai Terrier (Neogen dan Paleogen). Sebagian besar
batubara Indonesia berumur muda (Neogen), berupa batubara lignite dan
subbituminus dengan nilai kalori yang rendah dan sedang. Akan tetapi di
beberapa tempat, seperti di daerah Bukit Asam dan Kubah Pinang (Sangata),
batubara peringkat rendah tersebut mendapat pengaruh panas dari intrusi magma,
yang menyebabkan kualitasnya meningkat, sehingga ada yang mencapai peringkat
antrasit.
Endapan batubara Neogen yang bernilai ekonomis ditemukan di Cekungan Sumatra Selatan, Cekungan Bengkulu, Cekungan Kutai dan Tarakan (Kalimantan Timar) serta Cekungan Barito (Kalimantan Selatan). Sedangkan batubara Indonesia yang berumur Paleogen dengan nilai kalori yang tinggi serta bernilai ekonomis lebih sedikit jumlahnya daripada batubara Neogen, diantaranya terdapat di Cekungan Ombilin Sumatra Barat, Cekungan Sumatra Tengah (Riau), Cekungan Pasir dan Asam-Asam (Kalimantan Timar dan Selatan), Cekungan Barito (Kalimantan Tengah dan Selatan) serta Cekungan Ketungau ( Kalimantan Barat). Endapan batubara Paleogen juga ditemukan di Sulawesi dan Jawa Barat, walaupun tidak terdapat dalam jumlah yang banyak.
Endapan batubara Neogen yang bernilai ekonomis ditemukan di Cekungan Sumatra Selatan, Cekungan Bengkulu, Cekungan Kutai dan Tarakan (Kalimantan Timar) serta Cekungan Barito (Kalimantan Selatan). Sedangkan batubara Indonesia yang berumur Paleogen dengan nilai kalori yang tinggi serta bernilai ekonomis lebih sedikit jumlahnya daripada batubara Neogen, diantaranya terdapat di Cekungan Ombilin Sumatra Barat, Cekungan Sumatra Tengah (Riau), Cekungan Pasir dan Asam-Asam (Kalimantan Timar dan Selatan), Cekungan Barito (Kalimantan Tengah dan Selatan) serta Cekungan Ketungau ( Kalimantan Barat). Endapan batubara Paleogen juga ditemukan di Sulawesi dan Jawa Barat, walaupun tidak terdapat dalam jumlah yang banyak.
Pada tahun 2006, jumlah sumberdaya batubara Indonesia tercatat sebanyak
90.451,87 juta ton. Dari jumlah tersebut sebanyak 67% berupa batubara dengan
kalori sedang, 22% berupa batubara dengan kalori rendah, 10% berupa batubara
dengan kalori tinggi dan 1% berupa batubara dengan kalori sangat tinggi.
Batubara Indonesia ditinjau dari penggunaannya dalam dunia industri dan
perdagangan termasuk kedalam jenis batubara uap (steam coal/termal coal).Hingga
saat ini, di Indonesia belum pernah ditemukan batubara kokas. Walaupun
demikian batubara bituminus Indonesia sangat bagus digunakan sebagai bahan
campuran kokas.
Batubara Indonesia tergolong batubara yang bersih dengan kandungan abu (<5%)
dan kandungan sulfur yang rendah (<1%), sehingga tidak terlalu mencemari
lingkungan. Karakteristik tersebut membuat batubara Indonesia mampu bersaing di
dunia perdagangan Internasional. Batubara Indonesia yang memiliki kalori tinggi
sebagian besar diekspor ke luar negeri, sedangkan batubara peringkat rendah dan
sedang dipergunakan sebagai sumber energi pembangkit tenaga listrik maupun
sebagai bahan bakar pada berbagai industri di Indonesia, seperti industri semen,
teksil maupun pupuk.
0 komentar:
Posting Komentar